Kategori
Kisah dan Hikmah Taujih Taushiah

Bercermin Diri

Sahabatku,

Dalam keseharian kehidupan ini, kita seringkali melakukan aktivitas bercermin. Tidak pernah bosan barang sekalipun padahal wajah yang kita tatap, itu-itu juga, aneh bukan?! Bahkan hampir pada setiap kesempatan yang memungkinkan, kita selalu menyempatkan diri untuk bercermin. Mengapa demikian? Sebabnya, kurang lebih karena kita ingin selalu berpenampilan baik, bahkan sempurna. Kita sangat tidak ingin berpenampilan mengecewakan, apalagi kusut dan acak-acakan tak karuan.

Hanya saja, jangan sampai terlena dan tertipu oleh topeng sendiri, sehingga kita tidak mengenal diri yang sebenarnya, terkecoh oleh penampilan luar. Oleh karena itu marilah kita jadikan saat bercermin tidak hanya topeng yang kita amat-amati, tapi yang terpenting adalah bagaimana isi dari topeng yang kita pakai ini. Yaitu diri kita sendiri.

Sahabatku,

Mulailah amati wajah kita seraya bertanya, “Apakah wajah ini yang kelak akan bercahaya bersinar indah di surga sana ataukah wajah ini yang akan hangus legam terbakar dalam bara jahannam?”

Lalu tatap mata kita, seraya bertanya, “Apakah mata ini  yang kelak dapat menatap penuh kelezatan dan kerinduan, menatap Allah yang Mahaagung, menatap keindahan surga, menatap Rasulullah, menatap para Nabi, menatap kekasih-kekasih Allah kelak? Ataukah mata ini yang akan terbeliak, melotot, menganga, terburai, meleleh ditusuk baja membara? Akankah mata terlibat maksiat ini akan menyelamatkan? Wahai mata apa gerangan yang kau tatap selama ini?”

Lalu tataplah mulut ini, “Apakah mulut ini yang di akhir hayat nanti dapat menyebut kalimat thayibah, ‘laaillaahaillallaah’, ataukah akan menjadi mulut berbusa yang akan menjulur dan di akhirat akan memakan buah zakum yang getir menghanguskan dan menghancurkan setiap usus serta menjadi peminum lahar dan nanah? Saking terlalu banyaknya dusta, ghibah, dan fitnah serta orang yang terluka dengan mulut kita ini!”

“Wahai mulut apa gerangan yang kau ucapkan? Betapa banyak dusta yang engkau ucapkan. Betapa banyak hati-hati yang remuk dengan pisau kata-katamu yang mengiris tajam? Betapa banyak kata-kata yang manis semanis madu palsu yang engkau ucapkan untuk menipu beberapa orang? Betapa jarangnya engkau jujur? Betapa jarangnya engkau menyebut nama Allah dengan tulus? Betapa jarangnya engkau syahdu memohon agar Allah mengampunimu?”

Sahabatku,

Tataplah diri kita dan tanyalah, “Hai kamu ini anak shaleh atau anak durjana? Apa saja yang telah kamu peras dari orang tuamu selama ini? Dan apa yang telah engkau berikan? Selain menyakiti, membebani, dan menyusahkannya?! Tidak tahukah engkau betapa sesungguhnya engkau adalah makhluk tiada tahu balas budi!”

“Wahai tubuh, apakah engkau yang kelak akan penuh cahaya, bersinar, bersukacita, bercengkrama di surga sana? Atau tubuh yang akan tercabik-cabik hancur mendidih di dalam lahar membara jahannam tanpa ampun dengan derita tiada akhir?”

“Wahai tubuh, berapa banyak maksiat yang engkau lakukan? Berapa banyak orang-orang yang engkau zhalimi dengan tubuhmu? Berapa banyak hamba-hamba Allah yang lemah yang engkau tindas dengan kekuatanmu? Berapa banyak perindu pertolonganmu yang engkau acuhkan tanpa peduli padahal engkau mampu? Berapa pula hak-hak yang engkau rampas?”

“Wahai tubuh, seperti apa gerangan isi hatimu? Apakah tubuhmu sebagus kata-katamu atau malah sekelam daki-daki yang melekat di tubuhmu? Apakah hatimu segagah ototmu atau selemah daun-daun yang mudah rontok? Apakah hatimu seindah penampilanmu atau malah sebusuk kotoran-kotoranmu?”

Sahabatku,

Ingatlah amal-amal kita, “Hai tubuh apakah kau ini makhluk mulia atau menjijikkan, berapa banyak aib-aib nista yang engkau sembunyikan dibalik penampilanmu ini? Apakah engkau ini dermawan atau si pelit yang menyebalkan? Berapa banyak uang yang engkau nafkahkan dan bandingkan dengan yang engkau gunakan untuk selera rendah hawa nafsumu”

“Apakah engkau ini shaleh atau shalehah seperti yang engkau tampakkan? Khusyu-kah shalatmu, zikirmu, do’amu, …ikhlaskah engkau lakukan semua itu? Jujurlah hai tubuh yang malang! Ataukah menjadi makhluk riya tukang pamer!”

Sungguh  betapa beda antara yang nampak di cermin dengan apa yang tersembunyi. Betapa aku telah tertipu oleh topeng? Betapa yang kulihat selama ini hanyalah topeng, hanyalah seonggok sampah busuk yang terbungkus topeng-topeng duniawi!

Sahabat-sahabat sekalian,

Sesunguhnya saat bercermin adalah saat yang tepat agar kita dapat mengenal dan menangisi diri ini.***

(Sumber : Jurnal MQ Vol.1/No.1/Mei 2001)

Kategori
Kisah dan Hikmah

Ya Allah, Alangkah Bahagianya Calon Suamiku Itu…

Pada zaman Rasulullah SAW hiduplah seorang pemuda yang bernama Zahid yang berumur 35 tahun namun belum juga menikah. Dia tinggal di Suffah masjid Madinah. Ketika sedang memperkilat pedangnya tiba-tiba Rasulullah SAW datang dan mengucapkan salam. Zahid kaget dan menjawabnya agak gugup.“Wahai saudaraku Zahid?.selama ini engkau sendiri saja,” Rasulullah SAW menyapa.

“Allah bersamaku ya Rasulullah,” kata Zahid.

“Maksudku kenapa engkau selama ini engkau membujang saja, apakah engkau tidak ingin menikah?,” kata Rasulullah SAW.

Zahid menjawab, “Ya Rasulullah, aku ini seorang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan wajahku jelek, siapa yang mau denganku ya Rasulullah?”

” Asal engkau mau, itu urusan yang mudah!” kata Rasulullah SAW.

Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan sekretarisnya untuk membuat surat yang isinya adalah melamar kepada wanita yang bernama Zulfah binti Said, anak seorang bangsawan Madinah yang terkenal kaya raya dan terkenal sangat cantik jelita. Akhirnya, surat itu dibawah ke rumah Zahid dan oleh Zahid dibawa kerumah Said. Karena di rumah Said sedang ada tamu, maka Zahid setelah memberikan salam kemudian memberikan surat tersebut dan diterima di depan rumah Said.

“Wahai saudaraku Said, aku membawa surat dari Rasul yang mulia diberikan untukmu saudaraku.”

Said menjawab, “Adalah suatu kehormatan buatku.”

Lalu surat itu dibuka dan dibacanya. Ketika membaca surat tersebut, Said agak terperanjat karena tradisi Arab perkawinan yang selama ini biasanya seorang bangsawan harus kawin dengan keturunan bangsawan dan yang kaya harus kawin dengan orang kaya, itulah yang dinamakan SEKUFU.

Akhirnya Said bertanya kepada Zahid, “Wahai saudaraku, betulkah surat ini dari Rasulullah?”

Zahid menjawab, “Apakah engkau pernah melihat aku berbohong?.”

Dalam suasana yang seperti itu Zulfah datang dan berkata, “Wahai ayah, kenapa sedikit tegang terhadap tamu ini?. bukankah lebih disuruh masuk?”

“Wahai anakku, ini adalah seorang pemuda yang sedang melamar engkau supaya engkau menjadi istrinya,” kata ayahnya.

Disaat itulah Zulfah melihat Zahid sambil menangis sejadi-jadinya dan berkata, “Wahai ayah, banyak pemuda yang tampan dan kaya raya semuanya menginginkan aku, aku tak mau ayah?..!” dan Zulfah merasa dirinya terhina.

Maka Said berkata kepada Zahid, “Wahai saudaraku, engkau tahu sendiri anakku tidak mau?bukan aku menghalanginya dan sampaikan kepada Rasulullah bahwa lamaranmu ditolak.”

Mendengar nama Rasul disebut ayahnya, Zulfah berhenti menangis dan bertanya kepada ayahnya, “Wahai ayah, mengapa membawa-bawa nama rasul?”

Akhirnya Said berkata, “Ini yang melamarmu adalah perintah Rasulullah.”

Maka Zulfah istighfar beberapa kali dan menyesal atas kelancangan perbuatannya itu dan berkata kepada ayahnya, “Wahai ayah, kenapa sejak tadi ayah berkata bahwa yang melamar ini Rasulullah, kalau begitu segera aku harus dikawinkan dengan pemuda ini. Karena ingat firman Allah dalam Al-Qur?an surat 24 : 51. ?Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan. Kami mendengar, dan kami patuh/taat?. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. 24:51)”

Zahid pada hari itu merasa jiwanya melayang ke angkasa dan baru kali ini merasakan bahagia yang tiada tara dan segera pamit pulang. Sampai di masjid ia bersujud syukur. Rasul yang mulia tersenyum melihat gerak-gerik Zahid yang berbeda dari biasanya.

“Bagaimana Zahid?”

“Alhamdulillah diterima ya rasul,” jawab Zahid.

“Sudah ada persiapan?”

Zahid menundukkan kepala sambil berkata, “Ya Rasul, kami tidak memiliki apa-apa.”

Akhirnya Rasulullah menyuruhnya pergi ke Abu Bakar, Ustman, dan Abdurrahman bi Auf. Setelah mendapatkan uang yang cukup banyak, Zahid pergi ke pasar untuk membeli persiapan perkawinan. Dalam kondisi itulah Rasulullah SAW menyerukan umat Islam untuk menghadapi kaum kafir yang akan menghancurkan Islam.

Ketika Zahid sampai di masjid, dia melihat kaum Muslimin sudah siap-siap dengan perlengkapan senjata, Zahid bertanya, “Ada apa ini?”

Sahabat menjawab, “Wahai Zahid, hari ini orang kafir akan menghancurkan kita, maka apakah engkau tidak mengerti?”.

Zahid istighfar beberapa kali sambil berkata, “Wah kalau begitu perlengkapan kawin ini akan aku jual dan akan kubelikan kuda yang terbagus.”

Para sahabat menasehatinya, “Wahai Zahid, nanti malam kamu berbulan madu, tetapi engkau hendak berperang?”

Zahid menjawab dengan tegas, “Itu tidak mungkin!”

Lalu Zahid menyitir ayat sebagai berikut, ?Jika bapak-bapak, anak-anak, suadara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih baik kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya (dari) berjihad di jalan-Nya. Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.? (QS. 9:24).

Akhirnya Zahid (Aswad) maju ke medan pertempuran dan mati syahid di jalan Allah.

Rasulullah berkata, “Hari ini Zahid sedang berbulan madu dengan bidadari yang lebih cantik daripada Zulfah.”

Lalu Rasulullah membacakan Al-Qur?an surat 3 : 169-170 dan 2:154). ?Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal dibelakang yang belum menyusul mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati?.(QS 3: 169-170).

?Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.? (QS. 2:154).

Pada saat itulah para sahabat meneteskan air mata dan Zulfahpun berkata, “Ya Allah, alangkah bahagianya calon suamiku itu, jika aku tidak bisa mendampinginya di dunia izinkanlah aku mendampinginya di akhirat.”

HIKMAH
Mudah-mudahan bermanfaat dan bisa menjadi renungan buat kita bahwa, “Untuk Allah di atas segalanya, and die as syuhada.
Jazakumullah.

Kategori
Kisah dan Hikmah

Shohib An Naqb, Sang Penguasa Pintu

Panglima Besar Maslamah menghadapi suatu masalah besar dalam sebuah operasi militernya. Daerah musuh yang akan ditaklukkannya terbentang di hadapannya. Namun benteng kokoh berdiri tegak, seakan tak akan bisa ditembus kekuatan tentara nya.

Ia berpikir keras strategi apa yang akan dilakukannya. Pertempuran umum dengan mengerahkan tentara begitu saja ke dekat benteng tentu akan memakan banyak banyak korban. Benteng demikian tinggi, penjagaannya sangat ketat. Anak panah dengan mudah bermuntahan ke bawah, jika para mujahidin berada di bawahnya. Sedangkan Maslamah sadar bahwa meskipun setiap mujahidin menginginkan syahadah di medan laga, ia harus memperkecil kemungkinan banyaknya tentara yang gugur. Jumlah mereka sangat minim dibandingkan lasykar musuh.

Tiba-tiba ia menemukan jalan. Dilihatnya sebuah lorong dalam benteng kurang terjaga kuat. Jika lorong tersebut dapat ditembus dan membuka pintunya, pastilah para mujahidin dengan mudah menyerang ke dalam benteng. Tetapi masalahnya pekerjaan itu tak dapat dilakukan secara terang-terangan yang melibatkan banyak pasukan. Ini akan menarik perhatian dan menimbulkan kepanikan. Strategi dapat terbaca, mereka jelas akan mengerahkan kekuatan untuk mempertahankan pintu tersebut mati-matian. Berarti perkerjaan itu harus dilakukan oleh seorang yang kuat dan pemberani. Yang dapat menyelinap dan menaklukkan para penjaga tanpa membuat kehebohan.

Di perkemahan pertahanannya Maslamah pun mengumpulkan para mujahidin. Diceritakanlah taktik yang tengah dipikirkannya, kemudian ia bertanya: “Siapakah yang berani merelakan dirinya untuk mengemban tugas ini?”. Tak ada jawaban. Para Mujahidin saling berpandangan seakan-akan mereka tak dapat membanyangkan bahwa tugas itu dapat diselesaikan oleh seorang saja. Maslamah mengulang pertanyaannya Tetap tak ada jawaban. “Ini suatu pekerjaan yang mustahil…” pikir mereka.

Maslamah tercenung. Apakah strategi yang paling mungkin harus diubahnya? Tak adakah seorang prajurit yang relah berkorban demi terbukanya peluang ini? Maslamah hampir putus asa. Tetapi, tiba-tiba datanglah seorang mendekatinya. Dari atas pelana kudanya orang itu pun berseru: “Saya yang akan mengerjakan tugas itu, wahai Maslamah!”.

Maslamah terkejut. Dipandangnya orang yang tiba-tiba saja berada dihadapan nya. Dia berbadan tegap. Di pinggangnya terselip pedang. Sorot matanya menampakkan kejantanan. Tetapi, ya Allah! Ia menyembunyikan wajahnya di balik kain penutup kepala yang dibelitkan ke wajahnya. Hanya mata dan pangkal hidungnya saja yang nampak. Doa Maslamah mengiringi kepergian orang itu. Mudah-mudahan Allah menolongnya…” bisiknya.

Tak lama kemudian tampaklah orang itu memberi isyarat. Ia telah menaklukkan para penjaga dengan mudah dan berhasil menguasai pintu masuk. Maka menyerbulah mujahidin Islam ke benteng. Pertempuran dahsyat terjadi. Jerit takbir dan dentingan pedang-pedang yang berbenturan bersahutan silih berganti. Allah swt. melimpahkan karunianya dengan kemenangan yang dicapai kesatuan Maslamah.

Seusai pertempuran, Maslamah kembali berteriak: “Wahai Shahib an Naqb (si penguasa pintu) siapakah engkau sebenarnya? Marilah kemari, kenalkan dirimu!” Tak ada seorang pun yang menyahut, mengaku sebagai Shahib an Naqb. Para mujahidin hanya bisa saling berpandangan. Mereka juga ingin mengetahui siapa sebenarnya manusia yang gagah perkasa itu.

Selang beberapa lama datanglah seseorang ke kediaman Maslamah. Orang itu berkata: “Jika tuan ingin mengetahui siapakah sebenarnya Shohib an Naqb, saya dapat memberi tahu.” Engkaukah Shohib an Naqb?” sergah Maslamah. “Sebelum saya memberi tahu siapa Shohib an Naqb, tuah harus memenuhi tiga syarat,” kata orang itu lagi.

Maslamah penasaran. Dengan segera ia menyetujui persyaratan yang diajukan. “Silahkan sebutkan…!” katanya.

Orang itu berkata: “Pertama tuan jangan bertanya siapa nama Shohib an Naqb. Kedua jangan memberi hadiah apapun kepadanya. Ketiga, jangan ceritakan peristiwa ini kepada Amirul Mu’minin!”

“Baik!” jawab Maslamah. “Katakan siapakah Shohib an Naqb?”

“Sayalah Shohib an Naqb!” kata orang tersebut.

Setelah kejadian itu, panglima perang Maslamah mengangkat tangan dan berdoa: “Ya Allah! Kumpulkan aku di surga bersama Shohib an Naqb!”.

Seorang yang ikhlas akan mengutamakan kerja daripada berbicara. Kerja yang dihasilkan bukan untuk dibicarakan atau disebarluaskan dan dibanggakan.

Subhanallah, Maha Suci Allah dan Dialah Yang Maha Agung.

sumber : btm3.wordpress.com

Kategori
Kisah dan Hikmah

Siapa yang tahu maksud Allah?

Rasulullah pada suatu waktu pernah berkisah. Pada zaman sebelum kalian, pernah ada seorang raja yang amat dzalim. Hampir setiap orang pernah merasakan kezalimannya itu. Pada suatu ketika, raja zalim ini tertimpa penyakit yang sangat berat. Maka seluruh tabib yang ada pada kerajaan itu dikumpulkan. Dibawah ancaman pedang, mereka disuruh untuk menyembuhkannya. Namun sayangnya tidak ada satu tabib pun yang mampu menyembuhkannya.

Hingga akhirnya ada seorang Rahib yang mengatakan bahwa penyakit sang raja itu hanya dapat disembuhkan dengan memakan sejenis ikan tertentu, yang sayangnya saat ini bukanlah musimnya ikan itu muncul ke permukaan. Betapa gembiranya raja mendengar kabar ini. Meskipun raja menyadari bahwa saat ini bukanlah musim ikan itu muncul kepermukaan namun disuruhnya juga semua orang untuk mencari ikan itu. Aneh bin ajaib walaupun belum musimnya, ternyata ikan itu sangatlah mudah ditemukan. Sehingga akhirnya sembuhlah raja itu dari penyakitnya.

Di lain waktu dan tempat, ada seorang raja yang amat terkenal kebijakannya. Ia sangat dicintai oleh rakyatnya. Pada suatu ketika, raja yang bijaksana itu jatuh sakit. Dan ternyata kesimpulan para tabib sama, yaitu obatnya adalah sejenis ikan tertentu yang saat ini sangat banyak terdapat di permukaan laut. Karena itu mereka sangat optimis rajanya akan segera pulih kembali.

Tapi apa yang terjadi? Ikan yang seharusnya banyak dijumpai di permukaan laut itu, tidak ada satu pun yang nampak..! Walaupun pihak kerajaan telah mengirimkan para ahli selamnya, tetap saja ikan itu tidak berhasil diketemukan. Sehingga akhirnya raja yang bijaksana itu pun meninggal…

Dikisahkan para malaikat pun kebingungan dengan kejadian itu. Akhirnya mereka menghadap Tuhan dan bertanya, “Ya Tuhan kami, apa sebabnya Engkau menggiring ikan-ikan itu ke permukaan sehingga raja yang zalim itu selamat; sementara pada waktu raja yang bijaksana itu sakit, Engkau menyembunyikan ikan-ikan itu ke dasar laut sehingga akhirnya raja yang baik itu meninggal?”

Tuhan pun berfirman, “Wahai para malaikat-Ku, sesungguhnya raja yang zalim itu pernah berbuat suatu kebaikan. Karena itu Aku balas kebaikannya itu didunia, sehingga pada waktu dia datang menghadap-Ku, tidak ada lagi kebaikan sedikitpun yang dibawanya. Dan Aku akan tempatkan ia pada neraka yang paling bawah !

Sementara raja yang baik itu pernah berbuat salah kepada-Ku, karena itu Aku hukum dia didunia dengan menyembunyikan ikan-ikan itu, sehingga nanti dia akan datang menghadap-Ku dengan seluruh kebaikannya tanpa ada sedikit pun dosa padanya, karena hukuman atas dosanya telah Kutunaikan seluruhnya di dunia!”

Kita dapat mengambil beberapa pelajaran dari kisah bersayap ini.

Pelajaran pertama adalah: Ada kesalahan yang hukumannya langsung ditunaikan Allah di dunia ini juga; sehingga dengan demikian di akhirat nanti dosa itu tidak diperhitungkan-Nya lagi. Keyakinan hal ini dapat menguatkan iman kita bila sedang tertimpa musibah.

Pelajaran kedua adalah: Bila kita tidak pernah tertimpa musibah, jangan terlena. Jangan-jangan Allah ‘menghabiskan’ tabungan kebaikan kita. Keyakinan akan hal ini dapat menjaga kita untuk tidak terbuai dengan lezatnya kenikmatan duniawi sehingga melupakan urusan ukhrowi.

Pelajaran ketiga adalah: Musibah yang menimpa seseorang belum tentu karena orang itu telah berbuat kekeliruan. Keyakinan ini akan dapat mencegah kita untuk tidak berprasangka buruk menyalahkannya, justru yang timbul adalah keinginan untuk membantu meringankan penderitaannya.

Pelajaran keempat adalah: Siapa yang tahu maksud Allah?

sumber: btm3.wordpress.com

Kategori
Kisah dan Hikmah

Cermin diri

Pada suatu masa, ada seorang pria kaya raya berpesan kepada pembantunya, “Aku akan pergi ke luar negeri selama setahun untuk urusan bisnis. Selama aku pergi aku minta kau membangun sebuah rumah. Pilihlah bentuk dan desainnya sesuai kehendakmu. Besar atau kecil terserah kau. Ini aku kasih uang untuk membeli bahan bangunan, o­ngkos kerja tukang, serta gajimu selama membangun rumah tersebut.”Seminggu kemudian berangkatlah sang majikan ke luar negeri. Alangkah senangnya si pembantu mendapat proyek basah. Seumur-umur ia belum pernah mengelola uang sebanyak ini. Otak liciknya segera berputar. Selama mengerjakan tugas, si pembantu menggelapkan nilai proyek. Caranya, mark-up sana, sunat sini. Ia memakai bahan-bahan bangunan yang sepintas terlihat bagus padahal kualitasnya jelek. “Toh nantinya pada saat rumah ini mulai rusak, saya pasti tak lagi bekerja disini” begitu pikirnya.

Setahun kemudian sang majikan pulang. Ia menanyakan rumah baru tersebut.

“Beres Tuan! Segala sesuatunya berjalan sesuai rencana. Rumah sudah siap ditempati,” kata si pembantu dengan bangga.

“Baik. Nah, apakah kamu sendiri merasa puas sengan hasil karyamu?” sang majikan bertanya.

“Oh, ya tentu saja Tuan,” jawab si pembantu.

“Baik, kalau begitu,” jawab sang majikan, “Ketahuilah, aku menyuruh kau membangun rumah ini adalah untuk kenang-kenangan sekaligus penghargaan atas pengabdianmu bekerja disini bertahun-tahun.”

Mendengar ucapan sang majikan, kagetlah si pembantu. Perasaannya campur aduk. Ia merasa sangat malu dan cemas. Betapa tidak? Ia telah menghambur-hamburkan uang hasil korupsinya. Kini justru ia harus bertanggung jawab atas rumah yang selamanya akan mengingatkannya pada tindak korupsi yang mencoreng integritas dan pribadinya.

Cara terbaik untuk menentukan jenis karakter seseorang adalah dengan memberi kesempatan mereka menunjukkan tingkah laku mental dan moralnya saat mereka merasa sangat aktif dan benar-benar menikmati hidup. Karena pada saat itu pasti ada suara di dalam hati kecilnya yang mengatakan, “Inilah saya yang sebenarnya…”

sumber : btm3.wordpress.com